Senin, 05 Desember 2011

Latar Belakang dan dampak sosial konflik etnis Madura dan Dayak di Kalimantan Barat

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
            Indonesia merupakan suatu negara kepualauan yang setidaknya memiliki 33 propinsi dan 5 diantaranya memiliki memiliki status khusus sebagai daerah Istimewa, selain itu Indonesia juga terkenal dengan keanekaragaman ras, budaya, bahasa, dan agama. Di Indonesia sendiri terdapat lebih dari 740 suku bangsa/etnis, dimana di Papua saja terdapat 270 suku., 583 bahasa dan dialek dari 67 bahasa induk yang digunakan berbagai suku bangsa di Indonesia[1]. Dengan keanekaragaman atau pluralitas tersebut sering terjadi hal-hal negatif dimana masih terdapatnya rasa rasisime atas etnis yang mereka miliki padahal kita semua bernanung dalam satu kesatuan Republik Indonesia.
            Etnisitas bisa berkembang menjadi sebuah ideologi dimana masing-masing etnik berupaya memperjuangkan kepentingan etniknya. Daya juang etnik bisa dirasakan sangat kuat apabila mereka merasakan atau menyadari adanya faktor-faktor eksternal yang berupaya mengabaikan peran budaya, berupaya untuk mendominasi etnik mereka, atau berupaya merelatifkan nilai-nilai etnik yang mereka agungkan. Oleh karena itu etnisitas dipandang sebagai fenomena dari keangkuhan lokal yang mengarah pada lunturnya sifat-sifat nasionalisme kebangsaan.[2] Di Indonesia sendiri dengan pluralitasnya setidaknya tercatat terdapat 5 atau bahkan lebih konflik etnis yang mencuat ke permukaan yaitu konflik di Poso,Ambon, Ternate,Sampit,Sambas dll. Hal ini biasanya dipicu karena isu-isu SARA ataupun ketidakadilan pendistribusian sumber kekayaan alam atau lapangan kerja. Sehingga yang sering timbul akibat konflik ini adalah kekerasan atau tindakan fisik lainnya yang secara tidak langsung akan merugikan negara juga karena dengan banyaknya isu-isu konflik yang ada di Indonesia akan membuat para investor untuk mundur dalam penanaman modalnya, selain itu kerusakan akibat konflik tersebut seperti pembakaran fasilitas umum membuat produktifitas akan menurun.
            Salah satu daerah yang mengalami konflik etnis adalah Kalimantan Barat pada tahun 1999 yang terjadi di Sambas. Disini saya akan menunjukan rentan konflik yang terjadi di Kalimantan Barat :
Tabel 1.1[3]
Tahun
Etnik yang berkonflik
faktor pemicu
1952
Madura - Dayak
Kasus pencurian bubu oleh warga pendatang (congken)


terhadap penduduk asli Dayak (pung Jin)
1967
Madura - Dayak
Pembunuhan terhadap orang tua camat Toho (Dayak)


Kabupaten Pontianak oleh warga suku pendatang


pada saat bertani di sawah
1968
madura - Dayak
Pembunuhan terhadap camat sungai Pinyuh Kab.


Pontianak (Dani-Dayak) oleh sekelompok orang dari


warga pendatang di Anjungan karena tidak dilayani


dalam mengurus surat keterangan tanah karena pak


camat mau ke gereja.
1976
madura - Dayak
pembunuhan penduduk asli Dayak (caokeh) di sungai


Pinyuh oleh seorang warga pendatang yang mengambil


rumput tanpa izin. Pada tahun ini pula terjadi PGRS


Paraku antar Dayak dan Cina
1977
madura - Dayak
Pembunuhan terhadap seorang anggota Polri bernama


Robert Lanceng (penduduk asli) di Singkawang yang


dilakukan oleh beberapa warga pendatang. Pembunuhan ini terjadi katena korban menegur saudara


perempuannya  keluar rumah malam hari bersama


pemuda Madura
1979
madura - Dayak
pembunuhan penduduk asli Dayak (sidik) oleh seorang


warga Madura karena korban menegur seorang warga


etnik Madura yang mengambil rumput di lahannya tanpa


izin.
1983
madura - Dayak
pembunuhan terhadap penduduk asli Dayak oleh warga


pendatang karena masalah tanah di Kecamatan sungai


Ambawang Kabupaten Pontianak
1993
Madura - Dayak
perkelahian antar pemuda dari Suku asli dan pedatang


di Kodya Pontianak
1994
Madura - Dayak
penusukan terhadap penduduk asli Dayak oleh seorang


oknum dari warga pendatang di Tumbang Titi
1996
Madura - Dayak
perkelahian antar pemuda pada penutupan tahun 1996 di pasar Sanngauledo mengakibatkan tertusuknya


warga Dayak oleh warga pendatang
1997
Madura - Dayak
masih merupakan bias konflik Sanggauledo 1996, pada


tahun 1997seorang warga dayak terbunuh karena tusukan benda tajan oleh pendatang di Pontianak.


Konflik ini melebar ke Kab. Samabas
1999
Madura-Melayu-
penyerangan sekelompok masyarakat dari etnik pendatang terhadap etnik asli Melayu di Parit Setia dan

Dayak
Pembunuhan terhadap Martinus dari etnis Dayak oleh


Sekelompok masyarakat pendatang di Samalantan.
           

Dari data diatas konflik rentan konflik yang hampir setiap tahunnya terjadi di Kalimantan Barat ini dikarenakan memang sejak dahulu sudah adanya perselisihan antar etnis khususnya antara suku Dayak dan Madura. Toleransi terhadap etnis Madura pun habis dikarenakan perilaku etnis Madura yang kerap menunjukan budaya kekerasan dan ingin menang sendiri. Puncak dari konflik ini adalah pada tahun 1999 dimana serentetan kejadian yang menelan korban harta benda dan nyawa yang cukup besar serta berakhir dengan pengusiran (eviction) terhadap orang Madura dari Kabupaten Sambas dan Bengkayang. Keinginan masyarakat Madura untuk kembali lagi ke Sambas pun ditolak oleh warga setempat. Konflik ini bermula dari konflik antar individu yang mencuat menjadi konflik antar etnis dan pembentukan stereotype oleh setiap etnis. Etnis Dayak menganggap bahwa masyarakat Madura adalah orang-orang yang memiliki perilaku yang keras.

I.2 Permasalahan
            Ketika salah satu etnis mempunyai suatu keangkuhan dan menganggap bahwa etnisnya adalah yang paling baik maka mereka akan memandang bahwa etnis yang lain tidak berharga. Keangkuhan lokal ini sering menyebabkan konflik yang bermula dari konflik individu menjadi konflik yang lebih besar bahkan dapat menimbulkan kerusakan dan kehilangan nyawa seseorang. Salah satunya adalah konflik di Kalimantan Barat yang terjadi antara etnis Dayak dan Melayu. Konflik yang terjadi di Kalimantan Barat ini memang sudah berpuluh-puluh tahun lalu terjadi dan belum adanya penyelesaian konflik antara kedua belah pihak secara serius. Hal ini menimbulkan pertanyaan apa sebenarnya penyebab terjadinya konflik etnis di Kalimantan Barat yang banyak sekali menimbulkan kerusakan dan korban nyawa. Banyak sumber yang menyatakan bahwa konflik tersebut dikarenakan adanya ketidakadilan dalam memperebutkan sumber daya, selain itu adanya perbedaan karakter antara etnis yang bertikai. Selain itu dengan terjadinya konflik tersebut apakah dampak sosial yang ditimbulkan dari konflik yang terjadi terhadap penduduk setempat.

I.3 Kerangka Teori
I.3.1 Kelompok Etnis
Menurut Pigay (2000:47) kolompok etnis diartikan sebagai sekelompok manusia yang menyatakan ciri-ciri jasmani tertentu yang diperoleh karena keturunan sesuai dengan hukum genetika yang hidup di wilayah tertentu secara terpisah dan berbeda dengan kelompok manusia yang lain. Sedangkan menurut Theodorson (dalam Hidayah :xx) mengemukakan bahwa kelompok etnik adalah suatu kelompok sosial yang memiliki tradisi kebudayaan dan rasa identitas yang sama sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang lebih besar.
Pengelompokan suku bangsa dicirikan sebagai berikut :
  1. komunikasi antar sesama mereka, yaitu bahasa atau dialek yang memiliki keakraban dan kebersamaan di antara mereka.
  2. Pola-pola sosial kebudayaan yang menumbuhkan perilaku yang dinilai sebagai bagian dari kehidupan adat istiadat (termasuk cita-cita dan ideologi) yang dihormati bersama
  3. Adanya perasaan keterikatan antara satu dengan yang lainnya sebagai kelompok, dan menimbulkan rasa kebersamaan di antara mereka.
  4. Adanya kecendrungan menggolongkan diri kedalam kelompok asli terutama dalam menghadapi kelompok lain dalam berbagai kejadian sosial kebudayaan
  5. Adanya perasaan keterikatan dalam kelompok karena hubungan kekerabatan, genealogis, dan ikatan kesadaran teritorial di antara mereka.[4]

I.3.2 Teori Konflik
Simmel mengatakan bahwa konflik dapat lebih jelas terlihat melalui konflik kepentingan, yang hanya tertuju pada pemenuhan tujuan mereka sendiri atau kelompok tertentu, dan kurangnya usaha seperti kompromi dan tawar menawar. Jadi bagi Simmel kesadaran akan kepentingan umum dapat ditentukan melalui keadaan yang akan mempengaruhi konflik tanpa adanya kekerasan. Bagi Simmel konflik dapat membuat semakin jelas adanya batasan – batasan pada kelompok satu dengan kelompok lainnya. Konflik juga dapat menyebabkan otoritas sentral, dan dapat mengendalikan penyimpangan dan perbedaan pendapat dalam suatu kelompok.[5]
Sedangkan menurut Weber dalam menganalisis konflik dia melihat melalui 3 perspektif yaitu kelas, status, dan partai. Kelas disini bukan hanya dari pasar kerja tetapi cakupannya lebih luas yaitu profesi dan pekerjaan yang kemudian menciptakan kelompok-kelompok ekonomi berbeda. Konflik bisa datang dari kelompok kepentingan yang berbeda yang tercipta karena perebutan sumber daya ekonomi yang langka ataupun sebagai bentuk kekecewaan atau kecemburuan karena salah satu pihak tidak mendapatkan sumber daya tersesbut. Sedangkan status merujuk pada satu komunitas yang memiliki gaya hidup dan perasaan identitas kelompok yang sama dan bersifat beda dengan kelompok status yang lain. Terakhir adalah partai merujuk pada suatu kelompok yang memiliki kepentingan politis yaitu untuk memperebutkan kekuasaan[6]

I.3.3 Interaction Ritual
Interaction ritual terjadi ketika ada individu yang secara fisik bertemu, ketika individu menyatakan focus perhatiannya, ketika mereka mengembangkan perasaan emosional yang dirasakan, dan ketika mereka merepresentasikan focus dan perasaan mereka dengan simbol (kata-kata, gaya berbahasa, objek, frase, dan lainnya) dan membentuk sebuah kebenaran moral tentang simbol-simbol tersebut. Dinamisasi dari interaction ritual ini berkisar antara beberapa hal. Pertama, individu dihadapi dengan modal budaya, atau sumber daya yang mereka inginkan untuk dimiliki dalam masyarakat yang lebih luas. Kedua, individu memberikan sebuah level emosional dalam interaksi. Ketiga, individu menanggkap situasi dalam beberapa hal.[7]


BAB II
ISI
II.1 Deskripsi Kasus
            Kita mengenal etnis Dayak sebagai penduduk asli Kalimantan yang sering diidentikkan sebagai masyarakat primitif yang diberikan label “suku terasing yang perlu diberadabkan”. Sebenarnya, identitas Dayak lebih merupakan sebuah homogenisasi untuk menunjuk beberapa kelompok suku yang teridentifikasi sebagai rumpun melayu tua yang mendiami wilayah Kalimantan bagian pedalaman. Pulau Kalimantan sendiri sebenarnya terdiri atas lebih 400 suku, yang sebagian besar di antaranya (khususnya yang bermukim di pedalaman) kemudian diidentifikasi sebagai etnik Dayak. Agama dan kepercayaan etnik Dayak secara umum disebut dengan nama Kaharingan. Kemudian setelah pengaruh agama luar masuk, sebagian besar orang Dayak menganut agama Kristen dan Katolik. Hanya sebagian kecil yang memilih Islam. Hal ini berbeda dengan etnik Melayu yang identik dengan agama Islam. Identifikasian Dayak dengan label “non-Muslim” terlihat ketika ada orang Dayak yang masuk Islam, ia akan disebut dengan istilah “masuk Melayu”.
Etnik Madura  tidak hanya mendiami pulau Madura, tapi melakukan migrasi ke beberapa tempat hingga ke wilayah Kalimantan Barat. Menurut Sudagung (2001), proses migrasi orang Madura ke Kalimantan Barat dibagi ke dalam tiga periode. Pertama, periode perintisan (1902-1942). Kedua, periode surut (1942-1950). Ketiga, periode keberhasilan (1950- ). Masa perintisan, yaitu periode awal orang Madura bermigrasi ke Kalimantan Barat. Migrasi ini didasarkan pada kondisi kehidupan yang sulit di pulau Madura hingga mereka melakukan pelayaran sampai ke Kalimatan Barat. Informasi awal yang menceritakan migrasi orang Madura. Setelah itu gelombang perpindahan orang Madura mengalami peningkatan. Periode surut ditandai dengan masuknya penjajahan Jepang hingga tahun 1950. Dalam masa ini migrasi orang Madura ke Kalimantan Barat nyaris macet sama sekali. Hal ini disebabkan oleh sulitnya kondisi pada masa itu. Sejak tahun 1950-an, migrasi swakarsa orang Madura ke Kalimantan Barat semakin lancar. Lancarnya arus migrasi ini disebabkan oleh terbukanya kesempatan kerja tanpa membutuhkan pendidikan apa pun.[8]Dari berbagai sumber yang didapatkan konflik yang terjadi di Kalimantan Barat antara suku Dayak dan Madura terjadi karena beberapa sebab antara lain adalah Ketaksukaan orang Dayak terhadap orang Madura karena telah meminggirkan ekonomi orang-orang Dayak. Orang-orang Madura yang ulet berhasil mencetak sawah di tanah subur yang dulu milik nenek moyang orang Dayak. Orang-orang Madura yang jadi pedagang memiliki banyak tanah, rumah dan truk. Mereka memang menguasai jalur perdagangan hingga ke pedalaman Kalbar. Penguasaan ini tentu membuat tak enak orang Dayak dan Melayu tak kuat bersaing dengan orang-orang Madura. Peluang lapangan kerja untuk tingkat menengah ke atas pada perusahaan swasta nasional sulit ditembus putra daerah. Sementara itu, peluang di tingkat menengah ke bawah yakni sektor informal telah diisi perantau Madura, Bugis-Makassar, Batak, Ambon, maupun keturunan Cina. Orang Dayak sendiri juga terasing dari struktur pemerintah daerah.[9] Interaksi sosial yang intens antara etnik Dayak-Madura membangun pencitraan kolektif oleh masing-masing etnik terhadap etnik lainnya.  Penciraan kolektif inilah yang mempengaruhi individu Dayak dan Madura dalam mencitrakan etnik yang lain. Baik orang Dayak maupun Madura sama-sama memelihara dan mempertahankan identitas kultural etnik mereka.  Orang Madura sebagai penganut Islam yang taat mencitrakan Dayak yang non-Muslim sebagai orang kafir. Selain itu, pencitraan umum yang terbangun terhadap Dayak sebagai masyarakat primitif yang tidak beradab dan tidak kenal aturan ikut mempengaruhi pencitraan orang Madura terhadap Dayak. Sebaliknya, orang Dayak berdasarkan persentuhan pengalamannya dengan orang Madura, mencitrakan orang Madura sebagai etnik yang berkarakter keras. Pencitraan ini terbangun dari budaya carok yang menggambarkan budaya kekerasan orang Madura. Orang Dayak yang merasa dirinya ramah dan bersikap terbuka kepada semua pendatang, mempersepsikan orang Madura sebagai kelompok yang tertutup dan emosional.  Beberapa tindakan yang tidak disukai etnis Dayak terhadap orang-orang Madura adalah Retribusi pasar dipungut dan dikuasi pengaturannya oleh warga Madura juga pajak pemotongan hewan, Pedagang Madura selalu mengusir pedagang lain di pasar dengan kekerasan dan ancaman clurit sehingga mereka menguasai perdagangan di pasar-pasar. Kalau pedagang lain menjual lebih murah, langsung di obrak abrik, dan Orang Madura pada umumnya tidak menerima pengaturan pemerintah dimana mereka mencari penghidupan. Kebanyakan apabila ditanyakan KTP, mereka mengatakan mereka penduduk pulau Madura, mempunyai Bupati, Camat, RT, RW Madura dan tokoh masyarakat mereka di pulau Madura. Adanya mata rantai yang kuat, kaum pendatang dengan daerah asalnya, menyebabkan mereka tidak mengindahkan pengaturan pemerintah dimana mereka datang. Untuk membangun sekolah pun mereka meminta persetujuan dari pemerintah di pulau Madura, pemerintah di daerah baru hanya dianggap sepi bahkan ditantang kalau berupaya mengatur mereka. Beberapa orang Madura bercerita bahwa mereka secara kolektif tetap menyetor upeti kepada pulau asal mereka dan terikat secara total.[10]Sementara itu Asykien (2001) menunjukkan bahwa konflik antar etnik itu terjadi karena sifat negatif keduanya. Sifat-sifat kurang terpuji etnik Dayak : 1) Fanatis dan mendewakan kesukuan, 2) tidak punya tenggang rasa dan pendengki etnis yang dimusuhi, 3) menggeneralisasikan kesalahan orang-perorang kepada keseluruhan etnis, 4) melestarikan budaya mengayau, 5) suka menyebarluaskan kebencian dan prasangka buruk. Sedangkan sifat-sifat etnik Madura yang menimbulkan dendam etnik lain : 1) mencuri, menjambret, dan menipu, 2) menempati tanah orang lain tanpa izin, 3) membuat kekacauan dalam perjudian, 4) melanggar lalu lintas, 5) merampas milik etnik lain di penambangan emas. Dari sifat-sifat negatif yang diklasifikasikan Asykien diatas menjadi jelas bahwasanya pertentangan antar etnis merupakan kulminasi dari adanya prasangka etnik. Berbagai keburukan anggota etnik lain dicatat, disimpan, dan digunakan sebagai dasar dalam bergaul dengan etnik tersebut, meskipun sebetulnya pelakunya hanyalah segelintir orang saja. Rupa-rupanya generalisasi sifat-sifat buruk seseorang menjadi sifat-sifat buruk kelompok yang telah menjadi penyebab berkembangnya prasangka etnik di Kalimantan. Akibatnya kesalahan satu orang atau kelompok kecil orang juga digeneralisasikan ke keseluruhan etnik. [11]


II.2 Pembahasan dan Analisa Kasus
Berdasarkan deskripsi kasus diatas tampak sangat jelas bahwa konflik yang terjadi di Kalimantan Barat anatara etnis Madura dan Dayak disebabkan karena perebutan sumber daya alam atau alokasi perekonomian di Kalimantan itu sendiri. Etnis Dayak menganggap bahwa tanah, sumber daya alam, maupun perkebunan yang berada pada tanah nenek moyang mereka telah dirampas oleh masyarakat pendatang seperti Madura sehingga masyarakat pribumi tidak mendapatkan alokasi pembagian di sektor ekonomi yang adil. Disamping itu adanya perbedaan stereotipe antara kedua belah pihak yang menyebabkan arogansi terhadap suatu etnik. Perebedaan stereotipe itu terkadang memicu konflik yang disebabkan karena merendahkan etnis yang lain. Sehingga etnis yang direndahkan merasa tidak terima. Kelompok etnis tersebut akhirnya mempunyai dendam kepada kelompok etnis yang merendahkan mereka. Pada awalnya mungkin konflik tersebut hanya berasal antar individu yang berbeda suku tetapi karena mereka merasa memiliki keterkaitan antar sesama etnisnya sehingga menimbulkan rasa kebersamaan di antara mereka dan adanya Adanya kecendrungan menggolongkan diri kedalam kelompok asli terutama dalam menghadapi kelompok lain dalam berbagai kejadian sosial kebudayaan sehingga apabila salah satu mendapatkan masalah maka yang lain harus ikut membantu. Hal inilah yang menyebabkan konflik semakin menyulut ke luar dan merembet kepada konflik yang lainnya. Berbagai keburukan anggota etnik lain dicatat, disimpan, dan digunakan sebagai dasar dalam bergaul dengan etnik tersebut sehingga apabila salah satu etnis berperilaku negatif maka perilaku negatif tersebut akan dinilai sebagai perilaku kelompoknya etnisnya yang memiliki tradisi kebudayaan, identitas, dan bahasa atau dialek yang sama. Pencitraan yang dibentuk dan telah tertanam dari generasi ke generasi inilah yang menyebabkan sulitnya etnis Dayak dan Madura untuk melakukan perdamaian.Menrut Konflik yang dikemukakan oleh Weber bahwa konflik dapat terjadi melalui 3 hal yaitu Kelas, status, dan partai hal tersebut juga terjadi pada konflik di Kalimantan Barat ini. Ditinjau dari penguasaan kekuasaan dan otoritas yang dimiliki oleh etnis Dayak ternyata etnis Dayak tidak mempunyai kekuasaan yang begitu besar di tanah atau di daerah mereka sendiri. Etnis Dayak sering dianggap etnis yang tidak berpendidikan, terbelakang, dan terasing sehingga melalui pencitraan negatif tersebut kekuasaan dalam pemerintahan tidak diberikan kepada masyarakat lokal tersebut melainkan diberikan kepada pendatang seperti Jawa, Cina, dan Madura. Hal ini terbukti dari Dari tujuh daerah tingkat II di Kalbar, pada 1997, hanya satu kepala daerah dipercayakan kepada etnis Dayak. Di lembaga legislatif, baik di tingkat I maupun di tingkat II. Dari data diatas menunjukan bahwa memang benar masyarakat etnis Dayak tidak mempunyai otoritas yang kuat dalam pemerintahan. Etnis Dayak merupakan suatu kelompok yang memiliki kepentingan politis yaitu untuk memperebutkan kekuasaan yang berada dalam daerah nenek moyangnya untuk mengatur segala sesuatu yang menyangkut daerahnya itu. Mereka menginginkan agar putra daerah dapat mengatur daerahnya sendiri bukan dari masyarakat pendatang karena masyarakat pendatang dianggap tidak memiliki pengetahuan sebanyak putra daerah.Sedangkan pada sektor ekonomi yang lebih menengah ternyata masyarakat dayak juga tidak begitu memiliki kekuasaan di daerahnya sendiri. Salah satu contohnya ditunjukan bahwa Retribusi pasar dipungut dan dikuasi pengaturannya oleh warga Madura juga pajak pemotongan hewan dan penguasaan daerah-daerah serta sumber daya tertentu oleh masyarakat Madura. Arogansi dari etnis Madura yang merasa bahwa mereka adalah imigran yang berhasil membuat kesewenang-wenangan terhadap segala sektor. Konflik tersebut datang dari kelompok kepentingan yang berebda yang tercipta dari perebutan sumber daya alam maupin ekonomi. Masyarakat Dayak menunjukan bentuk kekecewaan atau kecemburuan terhadap etnis Madura sebagai pendatang yang menguasai hampir seluruh sektor ekonomi mereka. Kecemburuan tersebut diakibatkan adanya ketidakadilan terhadap pendapatan sumber –sumber daya tersebut. Dan terakhir adalah status seperti yang sudah saya jelaskan diatas merujuk pada satu komunitas yang memiliki gaya hidup dan perasaan identitas kelompok yang sama dan bersifat beda dengan kelompok status yang lain.
Dari konflik-konflik diatas juga menimbulkan suatu interaction ritual dimana kedua etnis bertemu dan menyatakan kepentingan masing – masing. Etnis Dayak menginginkan agar mereka bisa juga diterima sebagai komunitas yang memiliki kemampuan dan tidak menganaktirikan mereka di wilayahnya sendiri. Etnis Madura juga menginginkan kekuasaan atas sumber-sumber ekonomi yang ada. Ketika mereka menyatakan masing-masing kepentingannya yang tidak terdapat satu titik persetujuan maka mereka akan mengembangkan perasaan emosional yang dirasakan karena mereka sama-sama membela kepentingannya masing-masing dan tidak ada yang ingin mengalah. Mereka merepresentasikan perasaan emosional mereka dengan penggunaan kata-kata berupa ejekan kepada etnis lain, kekerasan, perusakan fasilitas umum maupun pribadi bahkan yang lebih membuat hati kita miris adalah kasus-kasus pembunuhan yang kerap terjadi hanya karena perasaan emosional seseorang. Pembunuhan itu kadang tidak hanya sekedar pembunuhan tetapi kekejaman terus berlanjut bilamana pembunuhan itu berlanjut menjadi kasus mutilasi. Pada saat mereka melalukan aksi tersebut mereka menganggap itu merupakan suatu kebenaran moral dimana pelaku pembunuhan, perusakan, dan kekerasan tidak merasa bersalah terhadap aksi yang mereka lakukan. Bahkan mereka cendrung bangga terhadap aksi yang mereka lakuka 
Dampak Sosial Konflik yang ditimbulkan
Dampak yang ditimbulkan akibat konflik tersebut yang terjadi selama berpuluh-puluh tahun tidak hanya merugikan penduduk sekitar tetapi juga merugikan negara. Kerugian yang ditimbulkan dari konflik tersebut terhadap negara adalah sulitnya investor masuk untuk menanamkan modalnya karena para investor menganggap jika ia menanamkan modalnya maka resiko yang ia akan hadapi terlalu besar selain itu memburuknya nama Indonesia di mata dunia. Banyak sekali media massa yang meliput atau LSM-LSM baik LSM dalam negeri maupun LSM dari luar negeri. Hal ini menimbulkan citra negatif tersendiri bagi Indonesia terlebih lagi Indonesia merupakan negara dunia ketiga yang membutuhkan bantuan terhadap negara maju. Jika pencitraan negatif telah diberikan kepada Indonesia maka sulit sekali bagi Indonesia untuk mendapatkan kepercayaan dari pihak asing.
  Dampak yang ditimbulkan bagi masyarakat adalah timbulnya rasa ketakutan tidak hanya dari kedua etnis tersebut saja tetapi juga bagi masyarakat lain yang berbeda etnis tapi tinggal di daerah konflik. Mereka akan takut apabila menjadi korban selanjutnya atau mereka takut untuk berusaha dan bekerja karena mementingkan keselamatan mereka masing-masing. Hal ini menimbulkan ketidakproduktifan masyarakat dan hingga akhirnya banyak sekali orang yang akan kehilangan mata pencahariannya. Jika seseorang telah kehilangan mata pencahariannya maka akan bertambah lagi angka pengangguran yang ada di Indonesia. Selain itu hilangnya korban nyawa, yang sangat disayangkan adalah hilangnya korban nyawa yang tidak berdosa seperti anak-anak. Konflik di Kalimantan Barat ini tidak pandang bulu dalam melakukan aksinya. Mereka sering sekali melakukan tindakan kekerasan pada anak-anak yang tidak memiliki kesalahan apapun. Selain itu kerusakan rumah atau fasilitas umum yang menyebabkan sebagian orang tidak memiliki rumah lagi akibat rumahnya itu dibakar atau dirusak oleh salah satu etnis yang marah. Mereka terpaksa harus mencari tempat perlindungan sementara dan dengan kejadian seperti itu maka akan menimbulkan trauma tersendiri bagi anak-anak.
Dampak lain yang penting adalah pada relasi sosial di Kalteng, yakni segregasi sosial antara warga Madura dan non-Madura, yang setelah konflik terlihat semakin lebar. Warga non-Madura (Dayak dan lainnya) cenderung menyalahkan perilaku Madura atas sebab terjadinya konflik. Oleh sebab itu, kembalinya Madura ke Kalteng dikuatirkan akan memicu konflik berikutnya, karena perilaku ini sangat melekat dengan kultur Madura. Selain itu, terhadap dinamika politik lokal kiranya terjadi secara tidak langsung. Setelah konflik pemekaran beberapa kabupaten dilakukan dan ini agaknya dapat mengadopsi kompetisi dan kepentingan politik elit lokal sekaligus menurunkan tensi konflik. Kehadiran warga Madura mungkin saja tidak terkait langsung dengan kompetisi politik lokal, namun dapat menjadi obyek dan korban dari kompetisi tersebut.[1]
 


[1]http://pda-undp.tripod.com/backriset-kalteng.pdf  Diunduh pada 24 Mei 2010 pukul 18:52

5 komentar: