Senin, 05 Desember 2011

Analisis Masyarkat Hindu - Bali


Pada artikel yang saya dapatkan dengan judul pemahaman yang salah tentang kasta di Bali menunjukan bahwa sebenarnya umat Hindu itu sendiri tidak mengenal sistem kasta, tetapi yang tertuang dalam kitab suci umat Hindu yaitu Veda disebutkan Warna. Warna merupakan pembagian masyarakat ke dalam profesi-profesi tertentu yang kemudian karena ajaran tersebut maka di Bali mengenal Wangsa dimana adanya pembagian kehidupan masyarakat yang dilakukan dengan melihat dari garis keturunannya, tetapi hal ini tidak menjadikan satu wangsa lebih baik dari wangsa yang lain. Wangsa itu tidak bersifat horizontal tetapi vertical.
            Dalam ajaran agama Hindu juga dikenal dengan istilah catur warna dimana adanya pembagian tugas yaitu kaum Brahmana bertugas untuk memberikan pembinaan mental rohani dan spiritual, Ksatria orang yang bertugas untuk mengatur negara dan pemerintahan serta rakyatnya, Waisya orang yang bertugas mengatur perekonomian dan Sudra orang yang bertugas untuk menjadi pelayan atau pembantu orang lain. Tetapi adanya catur warga ini tidak membedakan martabat satu dengan yang lainnya, adanya hal tersebut ditujukan untuk mencapai kesempurnaan hidup agar hidup menjadi teratur. Adanya catur warna ini tidak bersifat statis tetapi bersifat dinamis yang dimaksudkan adalah apabila seseorang termasuk dalam kaum Sudra tidak akan selamanya ia menjadi Sudra ia bisa saja menjadi Brahmana apabila dia mendalami dan mengajarkan ilmu agama kepada sesamanya. Sehingga catur warna itu bukan suatu status yang diturunkan darri generasi satu ke generasi turunannya.
            Kasta sendiri merupakan penggolongan status social masyarakat. Adanya definisi kasta dan mengadopsi ajaran catur warna sehingga timbulah suatu sistem stratifikasi masyarakat dimana mereka menganggap bahwa apabila mereka adalah turunan kaum brahmana maka seterusnya akan tetap menjadi brahmana dan menganggap bahwa Brahmana memiliki tingkat yang lebih tinggi di banding sudra atau catur warna yang lainnya. Sebenarnya sistem kasta tersebut tidak diajarkan di dalam agama Hindu karena sebenarnya agama Hindu sendiri mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki status dan kedudukan yang sama di mata Tuhan sehingga tidak ada perbedaan apakah mereka berasal dari kaum Brahmana, Waisya, Ksatria, maupun Sudra. Hal tersebut sering menjadi konflik di masyarakat Bali sendiri ketika sutu Warna sangat diagung-agungkan dan membuat adanya kesenjangan antara Warna yang berbeda.
            Durkheim memandang agama sebagai unsur yang dapat membentuk integrasi sosial. Manifestasi agama ditandai oleh sikap sakral pengalaman-pengalaman kelompok masyarakat dan dituangkan dalam bentuk ritual dan praktek-praktek yang suci. Selanjutnya, menurut Durkheim, agama adalah pensucian tradisi yang menyatukan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam perilaku manusia atas tumpuan akhir masyarakat itu. Tradisi yang dimaksud disini ialah bentuk-bentuk ritual dan praktek-praktek yang suci sebagai hasil interpretasi masyarakat terhadap pengalaman-pengalaman sakral yang mereka alami. Pengalaman agama dan ide tentang yang suci adalah produk kehidupan kolektif, kepercayaan dan ritus agama dapat mamberikan kontribusi dalam memperkuat ikatan-ikatan sosial dimana kehidupan kolektif itu bersandar.[1] Dalam agama Hindu sendiri terdapat suatu ritual-ritual yang dilakukan sebagai penghormatan kepada Tuhan dan meminta keselamatan di dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam agama Hindu terdapat ritual agama yang biasa mereka jalankan yaitu adanya upacara Pitra Yadnya yaitu upacara yang ditunjukan untuk orang yang sudah meninggal, Butha Yudha yaitu upacara untuk menyeimbangkan dunia dari penaruh negatif dan positif, Rsi Yadnya yaitu upacara penyucian manusia, Manusia Yadnya yaitu upacar seperti tujuh bulanan setelah bayi lahir dan Dewa yadnya yaitu upacara yang ditujukan kepada Tuhan dan manifestasinya. Adanya ritual keagamaan yang dibentuk atas dasar solidaritas kelompok kepercayaan tertentu akan membentuk suatu integrasi di dalam kelompoknya dimana hal tersebut akan terus berlanjut dan terinternalisasi ke dalam diri individu dan keturunannya. Selain itu adanya ritual-ritual keagamaan tersebut ditujukan untuk dapat melestarikan keberadaan umat dan menunjukan identitas umat tersebut bahwa adanya upacara Ngaben adalah uapacara yang dimiliki oleh umat Hindu.
Agama ini sendiri dapat menjadi kontrol social di masyarakat dimana pada agama Hindu sendiri menganggap bahwa setiap kata memiliki kekuatan tersendiri dan berbahaya apabila digunakan dengan tidak benar. Sehingga setiap orang harus menjaga agar kata-katanya dan janji-janjinya sesuai dengan perbuatannya dan apabila tidak masyarakat Hindu percaya akan timbul suatu kecelakaan pada diri individu sendiri. Hal ini yang disebutkan Durkheim bahwa masyarakat menciptakan agama dengan mendefinisikan fenomena tertentu sebagai sesuatu yang sacral. Sesuatu yang sacral ini yang ini melahirkan sikap hormat, kagum dan bertanggung jawab.[2]
Tetapi di sisi yang lain agama memberikan suatu sikap yang disebut Doctrine of The Truth dimana mereka mempercayainya bahwa agama yang dianutnya merupakan kebenaran yang hakiki dan agama lain merupakan suatu kesesatan. Di Hindu sendiri terdapat ajaran catur warna atau wangsa yang oleh beberapa orang disalahartikan menjadi system kasta. Hal itu terjadi di Bali yaitu karena adanya sistem kasta tersebut maka membedakan bagaimana seseorang yang berasal dari kaum Brahmana mempunyai wewenang yang lebih untuk melaksanakan upacara ritual keagamaan di banding yang lainnya. Padahal Hindu sendiri tidak melihat seseorang dari Warna-nya melainkan keiklasannya menjalankan ritual ibadah tersebut. Beberapa kelompok ini mempercayai suatu kasta berdasarkan ascribed status dimana adanya kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa membedakan kemampuan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran. Misalnya kedudukan keturunan Brahmana akan selamanya menjadi Brahmana.[3]
Hal ini dapat menjadi doktrin oleh beberapa kelompok masyarakat di Bali yang mempercayai sistem kasta tersebut yaitu mereka mempercayai bahwa status mereka sebagai kaum Brahmana atau Ksatria adalah turun temurun dari nenek moyangnya sehingga tidak dapat diubah atau diturunkan. Hal tersebut menimbulkan fanatisme di dalam agamanya sendiri. Pada dasarnya adanya doktrin ditujukan untuk mengikat suatu umat atau pengikutnya agara mereka tidak keluar dari ajaran agama tersebut tetapi lama kelamaan doktrin yang sudah terinternalisasi ke dalam diri individu dapat menimbulkan suatu sikap fanatisme. Fanatisme tersebut dapat memicu suatu konflik dan kesalahpahaman. Konflik tersebut juga terjadi di Bali dimana adanya hubungan yang tidak harmonis antara Brahmana dan Sudra. Puluhan rumah kaum Brahmana dirusak dan dihanguskan oleh masyarakat kaum Sudra di Desa Tusan pada Bulan Maret 2007.
Menurut Weber agama merupakan wujud pemahaman subyektif individu dalam menilai suatu kharisma yang terwahyukan kepada seseorang yang terpilih dan para pengikunya merasa berkewajiban untuk menjalankan misi kharismatik yang dibawa oleh pemimpin yang memperoleh kharisma dengan menaati perintah-perintah yang dikatakan pemimpin kharismatik tersebut dan menjauhi segala larangan yang dikatakan olehnya dalam menjalani kehidupan didunia.[4] Misalnya Agama Hindu dengan kitab suci Weda sebagai pegangan dan dasar hidup serta kehidupannya meyakini bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang Maha Suci telah menurunkan ajaran Weda melalui Para Maha Rsi, dan mengajarkannya kepada umat manusia melalui berbagai cara dan menyesuaikannya dengan tempat, waktu serta keadaan yang berlaku pada masa itu. Weda itu sendiri merupakan kitab suci agama Hindu diyakini kebenarannya dan menjadi pedoman hidup Umat Hindu, sebagai sumber bimbingan dan informasi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari ataupun untuk waktu-waktui tertentu.[5]
Kesimpulannya adalah bahwa sebenarnya agama Hindu tersebut tidak membedakan masyarakat satu dengan lainnya berdasarkan keturunan. Tetapi karena adanya perbedaan persepsi dalam mengkaji suatu ajaran maka timbulah suatu kasta dimana hal tersebut juga berpengaruh dalam ritual keagamaan yang mereka jalankan. Ritual keagamaan yang ada di agama Hindu sendiri merupakan bentuk pengabdian dan terimakasih kita kepada sang pencipta dan ditunjukan untuk mendapatkan kesempurnaan dan keseimbangan hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar