Selasa, 06 Desember 2011

mengapa pemikiran Karl Marx terutama mengenai kelas sosial masih dianggap relevan samapai sekarang?


Pemikiran Marx tentang ide-ide sosialis, perjuangan masyarakat kelas bawah, terutama disebabkan karena ia lahir di tengah pertumbuhan industri yang berbasis kapitalis. Perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan buruh dengan jam kerja yang sangat panjang setiap hari , yang sifatnya paten dan dengan upah yang sangat minim. Upah yang sangat minim yang diperoleh para buruh, bahkan hanya cukup membiayai makan sehari. Marx melihat kelas sosial yang tercipta berdasarkan hubungan kerja yang terbangun antara para pemilik modal dan buruh sangat bertentangan dengan prinsip keadilan. Kelas sosial paling bawah yang terdiri atas kelompok buruh dan budak, sering diistilahkan dengan kaum ploretar. Adanya kelas sosial yang menciptakan hubungan yang tidak seimbang tersebut, membawanya pada pemikiran ekstrem, penghapusan kelas sosial. Konsep Marx tentang lahirnya masyarakat tanpa kelas dinilai utopis. Hal ini terutama dihadapkan pada dimensi kodrati manusia yang lahir dengan kekhasan dan keberagaman dalam segala hal, termasuk dalam tinjauan kelas-kelas sosial. Namun, preperensi tersebut justru menjadi inspirasi bagi manusia untuk memaknai hidupnya sebagai sebuah perjuangan, perjuangan untuk memperbaiki nasib, untuk hidup yang lebih baik. Permasalahan tidak berhenti pada adanya kelas sosial, akan tetapi ide Marx yang humanis ingin menggugah kesadaran manusia tentang kehidupannya, tidak menyerah kepada nasib dan dogma agama sekalipun..[1]
Marx sering sekali berbicara tentang kelas sosial, tetapi Marx tidak pernah mendefiniskikan apa yang dimaksud dengan “kelas”. Pada umumnya definisi kelas mengikuti sebuah definisi Lenin yaitu kelas sosial dianggap sebagai golongan sosial dalam sebuah tatanan masyarakat yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam proses produksi. Menurut Marx pelaku-pelaku utama perubahan sosial bukanlah pada individu-individu tertentu, melainkan kelas-kelas sosial. Karena itu kita hanya dapat memahami sejarah dengan segala perkembangan yang terjadi apabila kita memperhatiakan kelas-kelas sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Menurut Marx akan terlihat bahwa setiap masyarakat terdapat kelas-kelas yang berkuasa dan kelas-kelas yang dikuasai, atau disebut juga dengan kelas atas atau kelas bawah.
            Jadi, konsep kelas sosial berdasarkan teori Karl Marx dikaitkan dengan pemilikan alat produksi dan terkait pula dengan posisi seseorang dalam masyarakat berdasarkan kriteria ekonomi Marx berpendapat bahwa stratifikasi timbul karena dalam masyarakat berkembang pembagian kerja yang memungkinkan perbedaan kekayaan, kekuasaan dan prestise yang jumlahnya sangat terbatas sehingga sejumlah besar anggota masyarakat bersaing dan bahkan terlibat dalam konflik untuk memilikinya. Anggota masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan, kekayaan atau prestise berusaha memperolehnya, sedangkan anggota masyarakat yang memilikinya berusaha untuk mempertahankannya bahkan memperluasnya. Menurut Marx, kelas-kelas akan timbul apabila hubungan-hubungan produksi melibatkan suatu pembagian tenaga kerja yang beraneka ragam, yang memungkinkan terjadinya penumpukan surplus produksi, sehingga merupakan pola hubungan memeras terhadap massa para pemroduksi.[2]
Menurut Marx masyarakat kapitalis terdiri dari tiga kelas yaitu kaum buruh (mereka yang hidup dari upah), kaum pemilik modal (hidup dari laba), dan para tuan tanah. Pada kenyataannya kelas buruh melakukan pekerjaan, tetapi karena mereka sendiri tidak memiliki tempat dan sarana kerja, mereka terpaksa menjual tenaga kerja mereka kepada kelas pemilik itu. Dengan demikian hasil kerja dan kegiatan bekerja bukan lagi milik para pekerja itu sendiri, melainkan milik para majikan. Itulah dasar keterasingan dalam pekerjaan. Dengan demikian kelas pemilik adalah kelas yang kuat dan para pekerja adalah kelas yang lemah. Ciri khas masyarakat kapitalis adalah keterbagian dalam kelas atas dan kelas bawah. Karena itu, hubungan antara kelas atas dan bawah pada hakikatnya merupakan hubungan penghisapan atau eksploitasi atau hubungan kekuasaan yang satu berkuasa atas yang lainnya. Para pemilik dapat menetapkan syarat-syarat bagi mereka yang mau bekerja, dan bukan sebaliknya. Kaum buruh yang mati-matian mencari pekerajaan terpaksa menerima upah dan syarat-syarat kerja lain yang disodorkan oleh si kapitalis.[3]
Niat yang disampaikan Marx pada awal-awal saat mengemukakan pemikirannya tentang masyarakat tanpa kelas terdengar mulia. Ia berniat untuk membebaskan manusia dari pengaruh mekanisme kekuasaan yang terdapat dalam kegiatan produksi. Pengusaha, menurutnya, mengambil lebih banyak dari pada apa yang diberikannya kepada buruh. Sehingga semakin-hari ia makin kaya, dan si buruh makin miskin. Lalu Marx mengajukan idenya tentang komunisme lewat uraiannya dalam Das Kapital. Ia menyerukan adanya persamaan kelas dalam masyarakat, dengan katalain ia menganjurkan dibentuknya masyarakat tanpa kelas.
          Kritikan marx tersebut, lebih menitik beratkan terhadap sistem itu sendiri, dimana para penguasa membentuk stratifikasi sosial agar kekuasaan mereka tetap terjaga dengan utuh. Dan stimulus ini pun pemicu tumbuhnya kapitalisme, yakni para kerabat sang penguasa dapat menjalankan sebuah sistem kapitalisme di dalam suatu negara, dimana para kapitalis dapat mengaruk keuntungan dari kaum proletar /masyarakat kelas bawah (Karl Marx) dengan cara menyita waktu kebebasan mereka setiap harinya untuk bekerja di sebuah perusahaan miliknya.
Itu semua bertujuan agar para kapitalis dapat mengaruk keuntungan yang banyak dan menambah kekayaan mereka. sedangkan kaum proletar tidak bisa berbuat apa-apa atas apa yang terjadi, yang mereka kehendaki hanyalah sebatas upah yang tidak seberapa untuk menghidupi keluarga mereka. Dan akibat dari sitem kapitalisme ini yaitu, adanya kesenjangan sosial yang terjadi terutama di kalangan masyarakat Indonesia, terjadinya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Itu semua merupakan dampak dari kejamnya kapitalisme yang terjadi di Indonesia saat ini. Dan inilah yang dimaksud oleh Marx dari teorinya tersebut.  Ditinjau dari keadaan di Negara Indonesia, Indonesia merupakan negara demokrasi, dan menurut Marx negara demokrasi adalah negara kapitalis, karena negara dikontrol oleh logika ekonomi kapitalis yang mendiktekan bahwa kebanyakan keputusan politik harus menguntungkan kepentingan kapitalis. Dengan istilah bahwa negara yang “memerintah” tetapi para kapitalis-lah yang “mengaturnya”. Sehingga tetap saja yang diuntungkan adalah para Sang-kapitalis, sedangkan masyarakat Indonesia lainnya yang pada umumnya rata-rata merupakan kaum proletar tetap berada dalam genggaman kemiskinan akibat kapitalisme.[4]
Keinginan Marx untuk menciptakan kesetraan atau dunia tanpa kelas tidak akan mungkin terjadi karena sampai sekarang pun sistem kelas sosial masih terjadi. Tidak hanya dalam faktor produksi dan ekonomi saja, bahkan kelas-kelas sosial terbentuk pula dalam suatu kepercayaan atau kita sebut dengan agama. Salah satu agama yang menerapkan kelas-kelas sosial itu adalah agama Hindu, dalam agama hindu terdapat sistem kelas yang disebut dengan kasta. Dalam pembagian kasta ini mempunyai sejarah yang dipercayai oleh umat Hindu yaitu ketika bangsa Arya menetap di pinggir-pinggir sungai Indu, Gangga dan Brahmaputra, mereka dipaksa untuk membagi masyarakat mereka ke dalam empat kelompok yang berbeda berdasarkan atas pekerjan untuk memperlancar pembagian tugas atau fungsi dari masyarakat. Empat kelompok itu adalah Brahmana yaitu, kelompok pendeta bekerja di pura, belajar dan menyebarkan agama. Selanjutnya adalah Kshatriya yaitu kelompok prajurit untuk memerintah dan membela Negara. Waisya - kelompok pengusaha untuk menjadikan semua komoditas didistribusikan secara benar. Shudra  yaitu untuk membantu kelompok lain dalam tugas mereka masing-masing.
Sistem Kelas sosial ini masih dianggap sangat relevan sampai saat ini karena adanya sikap adaptif dari kelas kapitalis. Menurut Marx adaptasi kaum kapitalis terhadap kaum proletar salah satunya ditunjukan dengan adanya jaminan sosial. Jaminan sosial ini adalah salah satu cara agar kaum buruh tidak melakukan revolusi sosial. Selain itu kelas sosial yang terjadi saat ini karena belum adanya kesadaran kelas, kelas sosial juga dilanggengkan karena adanya hegemoni yaitu pengaruh yang secara tidak sadar masuk ke dalam diri sendiri. Sehingga kaum buruh secara tidak sadar telah dieksploitasi oleh kaum kapitalis dengan bekerja sesuai dengan syarat dan ketentuan yang telah ditentukan oleh pemilik modal dan mereka tidak melakukan perlawanan karena kaum kapitalis telah membenrikan suatu jaminan sosial terhadap mereka..


[1] http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/filsafat-umum/karl-marx
[2] http://zuryawanisvandiarzoebir.wordpress.com/tag/karl-marx/
[3] Magnis-suseno,Franz. Pemikiran Karl Marx, dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revolusionisme. Gramedia Pustaja Utama. Jakarta. 1999 (halaman 110-115)
[4] http://id.shvoong.com/law-and-politics/politics/1873934-kapitalisme-kemiskinan/

Senin, 05 Desember 2011

Perubahan pola kebudayaan akibat Modernisasi dan Globalisasi

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Modernisme adalah pikiran, aliran, gerakan-gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Sedangkan modernisasi merupakan salah satu ciri dari peradaban maju. Modernisasi selalu diartikan sebagai suatu proses yang melaluinya manusia menjadi mampu menguasai alam dengan memanfaatkan teknologi modern. Modernisasi itu mencangkup pertumbuhan ekonomi secara mandiri dan berkelanjutan, partisipasi politik,. penyebaran norma-norma, tingginya tingkat mobilitas social dan geografis, Adapun cirri zaman modern adalah penggunaan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan manusia, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi (yang merupakan hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan manusia semakin kreatif, dan kreatifitas manusia bertujuan mencari jalan dalam mengatasi kesulitan hidup di dunia[1]
Ada agama yang memiliki cara yang berbeda dalam merespon tuntutan perkembangan masyarakat seperti yang dipahami oleh Parson, yang begitu rentan terhadap amukan modernisasi sehingga tidak mampu bertahan. Semua agama mempunyai klaim yang sama, untuk dapat berlaku dalam semua situasi, dalam segala satuan social dan dalam rentangan waktu yang tidak terbatas. Setiap agama memiliki empat isi pokok, yaitu: doktrin, organisasi, ritual dan pemimpin. Kecanggihan unsur-unsur tersebut sangat tergantung pada tingkat kemajuan yang dialami oleh masyarakat pendukungnya. Karena itu agama yang mempunyai tingkat abstraksi yang rendah biasanya sangat mudah terpengaruh oleh perubahan yang dialami pemeluknya. Salah satu penyebab utama merosotnya peran agama dalam peradaban industri modern dan perkembangan ilmu pengetahuan karena agama dianggap tidak memiliki kontribusi langsung bagi upaya mengejar kehidupan fisik-material, yang menilai agama sebagai faktor negatif dalam proses modernisasi. Agama bagi mereka adalah suatu penghambat dalam meraih modernisasi. Jadi agama adalah penghambat kemajuan.
Menurut Durkheim agama fungsinya sebagai sumber dan pembentuk solidaritas mekanis. Ia berpendapat bahwa agama adalah suatu pranata yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengikat individu menjadi satu-kesatuan melalui pembentukan sistem kepercayaan dan ritus. Melalui simbol-simbol yang sifatnya suci. Agama mengikat orang-orang kedalam berbagai kelompok masyarakat yag terikat satu kesamaan. Menurut pendapatnya pada masyarakat yang semakin haterogen, ikatan-ikatan primordial yang semula mengikat individu dalam simbol-simbol kebersamaan akan mulai memudar. [2]Namun sebaliknya harus dipahami pula bahwa satu sisi, agamalah yang diharapkan bisa memainkan peranan positif aktifnya dalam mengerem perilaku negatif manusia dan mengarahkan kehidupan manusia pada keteraturan dan keseimbangan akan dunia dan agamanya. Disinilah letak peran penting pemimpin agama, untuk dapat menginterpretasi agama, dari berbagai sudut pandang, rasional dan universal “membumi” sesuai dengan kebutuhan umat dan zaman, hingga agama tidaklah dipandang sebagai penghalang dari era modern ini. Doktrin yang dibeikan oleh agama ini diperlukan untuk mengikat umat beragama agar sesuai dengan ajaran yang diberikan.
Dengan masuknya modernisasi dan globalisasi membawa dampak yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Dari satu sisi, kita secara tidak langsung saling ketergantungan pada bangsa lain, terutama dari segi bidang ekonomi. Dari segi ekonomi kita harus saling menjalin kerja sama dengan bangsa lain. Kerja sama Negara-negara ini harus dapat mendorong juga hadirnya aturan yang dapat mengatur aktivitas perusahaan-perusahaan multinasional di suatu Negara. Salah satu cirri dari modernisasi adalah berkembangnya ilmu pengetahuan dan salah satu cirri dari globalisasi adalah tidak adanya batas yang selama ini menjadi penghambat. Hal ini bisa dilihat melalui penggunaan teknologi seperti televisi dan internet. Apabila kita terus menerus melihat tayangan atau informasi tersebut maka secara tidak langsung kita akan menyerap nilai-nilai baik yang bersifat positif maupun negatif yang ditampilkan.

1.2 Permasalahan
Dampak yang positif dari adanya globalisasi dan modernisasi adalah dapat mengetahui kebudayaan-kebudayaan bangsa lain, sehingga dapat dibandingkan ragam kebudayaan antarnegara, bahkan dapat terjadi adanya akulturasi budaya yang akan semakin memperkaya kebudayaan bangsa. Dengan memperbandingkan itu pula dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan budaya Indonesia bila dibandingkan dengan kebudayaan bangsa-bangsa yang lainnya. Sedangkan dampak negatif dari adanya globalisasi dan modernisasi adalah Munculnya guncangan kebudayaan (cultural shock),guncangan budaya umumnya dialami oleh golongan tua yang terkejut karena melihat adanya perubahan budaya yang dilakukan oleh para generasi muda. Cultural Shock dapat diartikan sebagai ketidaksesuaian unsur-unsur yang saling berbeda sehingga menghasilkan suatu pola yang tidak serasi fungsinya bagi masyarakat
yang bersangkutan. Perubahan unsur-unsur budaya seringkali ditanggapi oleh masyarakat dengan beragam. Bagi masyarakat yang belum siap menerima perubahan-perubahan yang terjadi maka akan timbul goncangan (shock) dalam kehidupan sosial dan budayanya yang mengakibatkan seorang individu menjadi tertinggal atau frustasi. Kondisi demikian dapat menyebabkan timbulnya suatu keadaan yang tidak seimbang dan tidak serasi dalam kehidupan.[3]
Perkembangan Kebudayaan dan difusi antar kebudayaan sendiri sering bertolak belakang yang diajarkan oleh Agama. Hal ini juga terjadi di Indonesia dimana Indonesia merupakan salah satu negara dunia ketiga yang berkiblat kepada kemajuan Barat dimana segala hal yang ada di Barat menjadi tolak ukur tersendiri dalam kemajuan bangsa. Begitupun yang terjadi di Indonesia dimana remaja Indonesia condong untuk mengikuti gaya hidup Barat yang sangat bertolak belakang dengan ajaran agama, dalam hal ini ajaran agama Islam karena sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam.


BAB II
ISI

2.1 Analisis Permasalahan
Saat ini ketika teknologi komunikasi semakin modern, teknologi komunikasi banyak mempengaruhi terjadinya perubahan. Informasi semakin lama semakin mudah didapat dan komunikasi pun menjadi lebih mudah dilakukan. Penemuan-penemuan baru di bidang teknologi yang terjadi di suatu tempat dapat dengan cepat diketahui oleh masyarakat lain yang jauh dari tempat tersebut. Modernisasi selalu dikaitkan atau dikiblatkan kepada kehidupan di Barat sehingga negara-negara berkembang atau negara-negara dunia ketiga cendrung untuk mengikuti perkembangan yang dilakukan oleh Barat. Kebanyakan ilmu pengetahuan dan teknologi juga berasal dari Barat, tidak mengherankan jika generasi muda Indonesiapun masuk kedalam gaya hidup yang diajarkan oleh Barat yang dapat mereka saksikan melalui televisi dan penggunaan internet. Kebudayaan Timur yang dikenal dengan budayanya yang sopan dan mengetahui tata krama contohnya adalah dalam hal berpakaian, di masayarakat Indonesia sekarang ini masih sangat tabu jika seseorang memakai pakaian yang terbuka ke suatu tempat atau memakai pakaian yang berlebihan. Tetapi contoh yang diberikan oleh kebudayaan Barat dalam hal berpakaian mereka bebas menggunakan pakaian apa saja yang mereka suka ke tempat manapun selama mereka nyaman dengan hal tersebut. Selain itu hubungan sex bebas yang sering dilakukan oleh Barat menjadi tren tersendiri buat remaja di Indonesia. Mereka berpendapat hal tersebut adalah suatu modernisasi yang apabila tidak diikuti maka mereka akan dianggap ketinggalan zaman dan tereksklusikan dari hubungan social dalam peer group-nya sendiri.
Hal tersebut menjadi suatu tren tersendiri di kalangan muda bangsa Indonesia dalam hal gaya hidup. Kebanyakan penduduk Indonesia beragama Islam, dalam ajaran agama Islam sendiri sangat melarang adanya hal seperti itu yaitu membuka aurat, hubungan sex bebas, dan yang lainnya. Tetapi menurut data yang saya dapatkan bahwa angka hubungan sex bebas di antara remaja semakin meningkat, hal ini ditunjukan melalui Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) berdasarkan survei pada tahun 2010 saja menyatakan, separuh remaja perempuan lajang yang tinggal di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek)kehilangan keperawanan dan melakukan hubungan seks pranikah. Bahkan, tidak sedikit hamil di luar nikah. Rentang usia remaja yang pernah melakukan hubungan seks di luar nikah antara 13-18 tahun. Ironisnya, temuan serupa terjadi di kota-kota besar lain di Indonesia. Selain di Jabotabek, data yang sama juga diperoleh di wilayah lain. Di Surabaya misalnya, remaja perempuan lajang yang kegadisannya sudah hilang mencapai 54 persen, di Medan 52 persen, Bandung 47 persen dan Jogjakarta 37 persen. Maraknya perilaku seks bebas, khususnya di kalangan remaja, berimbas pada kasus infeksi penularan HIV/AIDS yang cenderung berkembang di Indonesia. Perilaku seks bebas memicu meluasnya kasus HIV/AIDS. Mengutip data Kemenkes pada pertengahan 2010, kasus HIV/ AIDS di Indonesia mencapai 21.770 kasus AIDS positif dan 47.157 kasus HIV positif dengan persentase pengidap usia 20-29 tahun (48,1 persen) dan usia 30- 39 tahun (30,9 persen). Kasus penularan HIV/AIDS terbanyak ada di kalangan heteroseksual (49,3 persen) dan IDU atau jarum suntik (40,4 persen).[4]
Parson mengatakan bahwa kebudayaan adalah system symbol yang terpola dan tertata yang merupakan sasaran orientasi aktor, aspek system kepribadian yang diinternalisasikan dan pola-pola yang terinstitusionalisasikan dalam system social. Karena pada dasarnya kebudayaan bersifat simbolis dan subjektif, maka dia selalu diajarkan dari satu system ke system yang lainnya dengan cara berdifusi dari suatu system kepribadian melalui system kepribadian yang lain melalui pembelajaran dan sosialisasi.[5] Hal ini yang terjadi pada kebudayaan barat yang berdifusi pada kebudayaan yang ada di Indonesia melalui sosialisasi yang diberikan oleh media massa maupun peer group pada remaja di Indonesia.
Sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam dan dalam ajaran Islam sendiri tidak mengajarkan atau melarang hubungan sex bebas, penggunaan pakaian yang mempertontonkan aurat, dan hal-hal yang menjurus pada kemaksiatan (hal-hal yang dilarang oleh agama). Krisis identitas umat Islam sebagai sebuah umat dimana mereka semestinya hidup dibawah naungan nilai-nilai Islam tapi kenyataannya tidak. Umat Islam tidak lagi bisa melihat identitas terpenting mereka, yakni aqidah Islam, terwujud dalam kehidupan secara nyata. Aqidah Islam hanya bersemanyam dalam diri
dan hanya sekali-kali saja muncul di permukaan kehidupan, misalnya saat kelahiran, kematian, pernikahan, atau saat melaksanakan ibadah shalat, haji, zakat atau saat peringatan hari besar Islam seperti Isra’ Mir’aj, Maulid Nabi dan sebagainya. Ini jelas merupakan sebuah manipulasi terhadap fungsi, kedudukan dan peran agama Islam yang sesungguhnya justru diturunkan Tuhan untuk mengatur kehidupan manusia[6].
            Ajaran agama yang mulai luntur akibat adanya sikap modernisasi dan globalisasi membuat para pengikutnya sudah tidak lagi mementingkan ajaran agama tetapi lebih mengejar pada suatu hal yang materiil. Agama sendiri menurut Durkheim merupakan kepercayaan terhadap Tuhan, tetapi yang menekankan ajaran agama tersebut agar tetap berkeyakinan dan tidak menyimpang dari ajaran agama adalah para pengikutnya yang diinstusionalisasikan[7] seperi Majelis Ulama Indonesia yang mengharamkan penggunaan facebook (internet) atau Front Pembela Islam yang selalu menghakimi seseorang atau kelompok jika dia menyimpang dari ajaran agama. Adanya pelembagaan ini bertujuan untuk memantapkan nilai-nilai keagamaan, menafsirkan kembali implikasi ajaran-ajaran tradisional agar isinya tetap sesuai dengan kondisi yang baru dan kebutuhan untuk mengatasi pengaruh instrinsik. Agama mempunyai ajaran yang mengharuskan pemeluknya mengikuti ajaran agama tersebut karena adanya perasaan keberagaman yaitu adanya ikatan individu dengan agama yang diharuskan oleh masyarakat serta adanya dogma yaitu ajaran resmi dari suatu agama atau kepercayaan.
            Variasi yang lain dalam umat Islam, sebagaimana dikemukakan oleh Andrew Rippin, bahwa dalam merespon modernisasi umat Islam ada yang merespon secara berbalikan, yaitu dengan sikap anti modernisme dan pada akhirnya anti Barat. Ada juga kelompok yang menjadikan Barat sebagai kiblat dan role model dalam menatap masa depan dan bahkan untuk jalan hidup (way of life) mereka.[8] Ada juga yang bersikap kritis namun tidak secara otomatis anti modernisasi dan anti Barat. Di mata kelompok ini modernisasi dimodifikasi sekiranya tidak bertentangan dengan hal-hal yang dianggap prinsip oleh mereka. Kelompok ini menganggap Barat tidak secara otomatis sebagai musuh dan juga tidak menganggap sebagai model yang harus diikuti. Bagi mereka, Barat mengandung unsur kebaikan sehingga boleh diterima selama tidak mengorbankan agama, tetapi Barat juga mengandung unsur keburukan sehingga harus disikapi dengan penuh waspada dan kritis bahkan dalam batas tertentu harus ditolak.[9] Representasi mengenai agama dan bagaimana harus menyikapinya yang berbeda-beda dalam satu agama yang disebut collective mind.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa agama dapat menjadi kontrol terhadap perilaku kehidupan manusia. Walaupun adanya organisasi – organisasi tersebut tidak membuat masyarakat untuk kembali kepada ajaran agamanya, hal ini dikarenakan karen proses sosialisasi yang diberikan terlalu kuat dan tidak dibarengi oleh ajaran agama atau pendidikan dari orang tua.
Sosialisasi yang diberikan oleh kebudayaan Barat berjalan sukses, norma dan nilai tersebut terinternalisasi dalam diri remaja Indonesia. Dalam hal ini remaja merupakan penerima pasif dalam proses sosialisasi. Sosialisasi dan kontrol social harus seimbang hal ini karena dapat mencegah atau melawan kuatnya kecendrungan yang terjadi menyimpang[10]. Proses sosialisasi yang tinggi dan kurangnya kontrol social tentang agama membuat remaja kita terjebak dalam arus globalisasi dan modernisasi, mereka berada dalam masa dimana informasi-informasi yang didapatkan diserap dan ditiru (asimilasi) sehingga kebudayaan Barat baik yang bersifat negatif dan positif ditiru oleh remaja kita saat ini.
Dampak hasil kemajuan modernisasi dan globalisasi bagi remaja yang tidak terkontrol oleh agamanya adalah hamil di luar nikah, terjangkit HIV, atau berhubungan sex bebas yang mereka dapatkan ajaran tersebut melalui televisi atau internet. Hal ini dalam ajaran Islam menjadi suatu dosa yang besar dan menyebabkan aib bagi keluarganya dimana pihak orang tua harus bertanggung jawab terhadap perilaku menyimpang anak. Menurut ajaran Islam sendiri hukuman yang akan didapatkan tidak hanya berupa hukuman secara social tetapi juga hukuman dari Tuhan karena mereka telah lalai dalam menjalankan perintah agama.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Sekarang ini lemahnya ajaran agama dalam diri individu membuat sebagian remaja menjadi korban dalam menyikapi isu modernisasi dan globalisasi. Globalisasi dan Modernisasi tidak selalu berdampak baik bagi seluruh lapisan masyarakat, beberapa masyarakat yang tidak siap untuk menghadapi hal tersebut cendrung menjadi korban akan kedua arus utama dunia itu. Terutama hal tersebut terjadi pada remaja Indonesia yang tidak memiliki pemhaman dan bagaimana cara menyikapi isu-isu tersebut, yang terjadi adalah Barat dianggap sebagai sentral dimana semua hal yang diajarkan dan dianut oleh Barat merupakan suatu hal yang modern. Kehiduapan Barat yang dikiblatkan oleh remaja Indonesia yang disosialisasikan melalui media massa dan peer groupnya menjadi terinternalisasi dalam kebudayaan remaja Indonesia dan cendrung melupakan ajaran agama yang mereka anut masing-masing. Apabila mereka tidak mengikuti perkembangan zaman tersebut dianggap sebagai orang-orang yang ketinggalan zaman dan tereksklusikan dari peer group. Hal tersebut menjadi sangat penting dalam pemahaman remaja agar dia diterima dalam lingkungan sosialnya dibanding ia harus mengikuti ajaran agama dan dipandang sebelah mata oleh peer groupnya apabila ia terlalu mengikuti ajaran agamanya tersebut.
            Agama sekarang ini hanya dijadikan sebagai symbol dalam acara-acara besar tetapi ajarannya sendiri tidak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa orang  menerima agama sebagai suatu hal yang taken for granted dan ajaran yang diberikan agama merupakan doctrine of the truth sehingga tidak diragukan kembali kebenarannya dan bagi orang-orang yang menyimpang dari ajaran agama terdapat organisasi yang telah diinstitusionalisasikan untuk memperbaiki interpretasi mereka terhadap ajaran agama. Sebenarnya kebudayaan Barat tidak harus ditanggapi dengan hal yang negatif tetapi juga dapat ditanggapi sebagai suatu acuan dimana Negara kita atau kebudayaan kita harus lebih baik dengan menunjukan hal tersebut kepada dunia, bagaimana kita hidup dalam suatu negara dengan berbagai macam ras, agama, dan kebudayaannya tetapi tetap menjadi satu kesatuan. Hal tersebut bisa lebih dimunculkan dibanding kita harus selalu mengikuti apa yang orang-orang Barat lakukan.
3.2 Saran
1.      Memberikan pemahaman apa yang disebut dengan modernisasi dan Globalisasi dan bagaimana cara menyikapi isu tersebut terutama pada remaja Indonesia.
2.      Pengawasan orang tua menjadi hal yang tak kalah pentingnya dimana orang tua bertugas untuk mendidik dan mengajarkan nilai-nilai agama sehingga terinternalisasi dalam diri remaja. Hal ini berguna untuk menjadikan kontrol bagi perilaku anak agar tidak menyimpang.
3.      Lingkungan bermain seorang remaja sangat berpengaruh terhadap perilaku mereka sehari-hari. Lingkungan tersebut sebaikanya difasilitasi tidak hanya dengan bersenang-senang dan berhura-hura tetapi juga melalui pendidikan moral dimana satu sama lain saling mengingatkan dalam hal kebaikan.


[1] http://rihlah.wordpress.com/2007/05/10/marginalisasi-peran-agama-di-era-modern/
Diunduh pada 14 Desember 2010. Pukul 12:19
[5] Ritzer, George and Douglas.J.Goodman.2009.Teori Sosiologi. Kreasi Wacana. Yogyakarta. (halaman 263)
[6] http://moebsmart.co.cc/?p=113
[7] Bahan Kuliah Robert M.Z Lawang “Sosiologi Agama Emile Durkheim”
[8] Rippin, Andrew. 1993. Muslim. New York: Routledge. 19.

[9] Azizy, A. Qodri. 2003. Melawan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Halaman 28.
[10] Ritzer, George and Douglas.J.Goodman.2009.Teori Sosiologi. Kreasi Wacana. Yogyakarta

Analisis Masyarkat Hindu - Bali


Pada artikel yang saya dapatkan dengan judul pemahaman yang salah tentang kasta di Bali menunjukan bahwa sebenarnya umat Hindu itu sendiri tidak mengenal sistem kasta, tetapi yang tertuang dalam kitab suci umat Hindu yaitu Veda disebutkan Warna. Warna merupakan pembagian masyarakat ke dalam profesi-profesi tertentu yang kemudian karena ajaran tersebut maka di Bali mengenal Wangsa dimana adanya pembagian kehidupan masyarakat yang dilakukan dengan melihat dari garis keturunannya, tetapi hal ini tidak menjadikan satu wangsa lebih baik dari wangsa yang lain. Wangsa itu tidak bersifat horizontal tetapi vertical.
            Dalam ajaran agama Hindu juga dikenal dengan istilah catur warna dimana adanya pembagian tugas yaitu kaum Brahmana bertugas untuk memberikan pembinaan mental rohani dan spiritual, Ksatria orang yang bertugas untuk mengatur negara dan pemerintahan serta rakyatnya, Waisya orang yang bertugas mengatur perekonomian dan Sudra orang yang bertugas untuk menjadi pelayan atau pembantu orang lain. Tetapi adanya catur warga ini tidak membedakan martabat satu dengan yang lainnya, adanya hal tersebut ditujukan untuk mencapai kesempurnaan hidup agar hidup menjadi teratur. Adanya catur warna ini tidak bersifat statis tetapi bersifat dinamis yang dimaksudkan adalah apabila seseorang termasuk dalam kaum Sudra tidak akan selamanya ia menjadi Sudra ia bisa saja menjadi Brahmana apabila dia mendalami dan mengajarkan ilmu agama kepada sesamanya. Sehingga catur warna itu bukan suatu status yang diturunkan darri generasi satu ke generasi turunannya.
            Kasta sendiri merupakan penggolongan status social masyarakat. Adanya definisi kasta dan mengadopsi ajaran catur warna sehingga timbulah suatu sistem stratifikasi masyarakat dimana mereka menganggap bahwa apabila mereka adalah turunan kaum brahmana maka seterusnya akan tetap menjadi brahmana dan menganggap bahwa Brahmana memiliki tingkat yang lebih tinggi di banding sudra atau catur warna yang lainnya. Sebenarnya sistem kasta tersebut tidak diajarkan di dalam agama Hindu karena sebenarnya agama Hindu sendiri mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki status dan kedudukan yang sama di mata Tuhan sehingga tidak ada perbedaan apakah mereka berasal dari kaum Brahmana, Waisya, Ksatria, maupun Sudra. Hal tersebut sering menjadi konflik di masyarakat Bali sendiri ketika sutu Warna sangat diagung-agungkan dan membuat adanya kesenjangan antara Warna yang berbeda.
            Durkheim memandang agama sebagai unsur yang dapat membentuk integrasi sosial. Manifestasi agama ditandai oleh sikap sakral pengalaman-pengalaman kelompok masyarakat dan dituangkan dalam bentuk ritual dan praktek-praktek yang suci. Selanjutnya, menurut Durkheim, agama adalah pensucian tradisi yang menyatukan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam perilaku manusia atas tumpuan akhir masyarakat itu. Tradisi yang dimaksud disini ialah bentuk-bentuk ritual dan praktek-praktek yang suci sebagai hasil interpretasi masyarakat terhadap pengalaman-pengalaman sakral yang mereka alami. Pengalaman agama dan ide tentang yang suci adalah produk kehidupan kolektif, kepercayaan dan ritus agama dapat mamberikan kontribusi dalam memperkuat ikatan-ikatan sosial dimana kehidupan kolektif itu bersandar.[1] Dalam agama Hindu sendiri terdapat suatu ritual-ritual yang dilakukan sebagai penghormatan kepada Tuhan dan meminta keselamatan di dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam agama Hindu terdapat ritual agama yang biasa mereka jalankan yaitu adanya upacara Pitra Yadnya yaitu upacara yang ditunjukan untuk orang yang sudah meninggal, Butha Yudha yaitu upacara untuk menyeimbangkan dunia dari penaruh negatif dan positif, Rsi Yadnya yaitu upacara penyucian manusia, Manusia Yadnya yaitu upacar seperti tujuh bulanan setelah bayi lahir dan Dewa yadnya yaitu upacara yang ditujukan kepada Tuhan dan manifestasinya. Adanya ritual keagamaan yang dibentuk atas dasar solidaritas kelompok kepercayaan tertentu akan membentuk suatu integrasi di dalam kelompoknya dimana hal tersebut akan terus berlanjut dan terinternalisasi ke dalam diri individu dan keturunannya. Selain itu adanya ritual-ritual keagamaan tersebut ditujukan untuk dapat melestarikan keberadaan umat dan menunjukan identitas umat tersebut bahwa adanya upacara Ngaben adalah uapacara yang dimiliki oleh umat Hindu.
Agama ini sendiri dapat menjadi kontrol social di masyarakat dimana pada agama Hindu sendiri menganggap bahwa setiap kata memiliki kekuatan tersendiri dan berbahaya apabila digunakan dengan tidak benar. Sehingga setiap orang harus menjaga agar kata-katanya dan janji-janjinya sesuai dengan perbuatannya dan apabila tidak masyarakat Hindu percaya akan timbul suatu kecelakaan pada diri individu sendiri. Hal ini yang disebutkan Durkheim bahwa masyarakat menciptakan agama dengan mendefinisikan fenomena tertentu sebagai sesuatu yang sacral. Sesuatu yang sacral ini yang ini melahirkan sikap hormat, kagum dan bertanggung jawab.[2]
Tetapi di sisi yang lain agama memberikan suatu sikap yang disebut Doctrine of The Truth dimana mereka mempercayainya bahwa agama yang dianutnya merupakan kebenaran yang hakiki dan agama lain merupakan suatu kesesatan. Di Hindu sendiri terdapat ajaran catur warna atau wangsa yang oleh beberapa orang disalahartikan menjadi system kasta. Hal itu terjadi di Bali yaitu karena adanya sistem kasta tersebut maka membedakan bagaimana seseorang yang berasal dari kaum Brahmana mempunyai wewenang yang lebih untuk melaksanakan upacara ritual keagamaan di banding yang lainnya. Padahal Hindu sendiri tidak melihat seseorang dari Warna-nya melainkan keiklasannya menjalankan ritual ibadah tersebut. Beberapa kelompok ini mempercayai suatu kasta berdasarkan ascribed status dimana adanya kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa membedakan kemampuan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran. Misalnya kedudukan keturunan Brahmana akan selamanya menjadi Brahmana.[3]
Hal ini dapat menjadi doktrin oleh beberapa kelompok masyarakat di Bali yang mempercayai sistem kasta tersebut yaitu mereka mempercayai bahwa status mereka sebagai kaum Brahmana atau Ksatria adalah turun temurun dari nenek moyangnya sehingga tidak dapat diubah atau diturunkan. Hal tersebut menimbulkan fanatisme di dalam agamanya sendiri. Pada dasarnya adanya doktrin ditujukan untuk mengikat suatu umat atau pengikutnya agara mereka tidak keluar dari ajaran agama tersebut tetapi lama kelamaan doktrin yang sudah terinternalisasi ke dalam diri individu dapat menimbulkan suatu sikap fanatisme. Fanatisme tersebut dapat memicu suatu konflik dan kesalahpahaman. Konflik tersebut juga terjadi di Bali dimana adanya hubungan yang tidak harmonis antara Brahmana dan Sudra. Puluhan rumah kaum Brahmana dirusak dan dihanguskan oleh masyarakat kaum Sudra di Desa Tusan pada Bulan Maret 2007.
Menurut Weber agama merupakan wujud pemahaman subyektif individu dalam menilai suatu kharisma yang terwahyukan kepada seseorang yang terpilih dan para pengikunya merasa berkewajiban untuk menjalankan misi kharismatik yang dibawa oleh pemimpin yang memperoleh kharisma dengan menaati perintah-perintah yang dikatakan pemimpin kharismatik tersebut dan menjauhi segala larangan yang dikatakan olehnya dalam menjalani kehidupan didunia.[4] Misalnya Agama Hindu dengan kitab suci Weda sebagai pegangan dan dasar hidup serta kehidupannya meyakini bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang Maha Suci telah menurunkan ajaran Weda melalui Para Maha Rsi, dan mengajarkannya kepada umat manusia melalui berbagai cara dan menyesuaikannya dengan tempat, waktu serta keadaan yang berlaku pada masa itu. Weda itu sendiri merupakan kitab suci agama Hindu diyakini kebenarannya dan menjadi pedoman hidup Umat Hindu, sebagai sumber bimbingan dan informasi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari ataupun untuk waktu-waktui tertentu.[5]
Kesimpulannya adalah bahwa sebenarnya agama Hindu tersebut tidak membedakan masyarakat satu dengan lainnya berdasarkan keturunan. Tetapi karena adanya perbedaan persepsi dalam mengkaji suatu ajaran maka timbulah suatu kasta dimana hal tersebut juga berpengaruh dalam ritual keagamaan yang mereka jalankan. Ritual keagamaan yang ada di agama Hindu sendiri merupakan bentuk pengabdian dan terimakasih kita kepada sang pencipta dan ditunjukan untuk mendapatkan kesempurnaan dan keseimbangan hidup.